Daftar Plat Nomor Polisi Dan Asal Daerahnya

BL = Nanggroe Aceh Darussalam

BB = Sumatera Utara Bagian Barat (Tapanuli)

BK = Sumatera Utara

BA = Sumatera Barat

BM = Riau

BP = Kepulauan Riau

BG = Sumatera Selatan

BN = Kepulauan Bangka Belitung

BE = Lampung

BD = Bengkulu

BH = Jambi

A = Banten: Kabupaten/Kota Serang, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon, Kabupaten Lebak, sebagian Kabupaten Tangerang

B = DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Tangerang, Kabupaten/Kota Bekasi, Kota Depok

D = Kabupaten/Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat

E = eks Karesidenan Cirebon: Kabupaten/Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan (E – YA/YB/YC/YD)

F = eks Karesidenan Bogor: Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten/Kota Sukabumi

T = Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, sebagian Kabupaten Bekasi, Kabupaten Subang

Z = Kabupaten Garut, Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar [1]

G = eks Karesidenan Pekalongan: Kabupaten (G – B)/Kota Pekalongan (G – A), Kabupaten (G – F)/Kota Tegal (G – E), Kabupaten Brebes, Kabupaten Batang (G – C), Kabupaten Pemalang (G – D)

H = eks Karesidenan Semarang: Kabupaten/Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Kendal (H – D), Kabupaten Demak

K = eks Karesidenan Pati: Kabupaten Pati (K – A), Kabupaten Kudus (K – B), Kabupaten Jepara (K – C), Kabupaten Rembang (K – D), Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan

R = eks Karesidenan Banyumas: Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara

AA = eks Karesidenan Kedu: Kabupaten/Kota Magelang, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo

AB = DI Yogyakarta: Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo

AD = eks Karesidenan Surakarta: Kota Surakarta (AD), Kabupaten Sukoharjo (AD – B), Kabupaten Boyolali (AD – D), Kabupaten Sragen (AD – E), Kabupaten Karanganyar (AD – F), Kabupaten Wonogiri (AD – G), Kabupaten Klaten (AD – C)

L = Kota Surabaya

M = eks Karesidenan Madura: Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan

N = eks Karesidenan Malang: Kabupaten/Kota Malang, Kabupaten/Kota Probolinggo, Kabupaten/Kota Pasuruan, Kabupaten Lumajang

P = eks Karesidenan Besuki: Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi

S = eks Karesidenan Bojonegoro: Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten/Kota Mojokerto, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Jombang[2]

W = Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik[3]

AE = eks Karesidenan Madiun: Kabupaten/Kota Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Pacitan

AG = eks Karesidenan Kediri: Kabupaten/Kota Kediri, Kabupaten/Kota Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Trenggalek

[^ Daerah dengan kode wilayah Z sebelumnya memiliki kode wilayah D (eks Karesidenan Parahyangan)

^ Jombang memiliki kode wilayah S sejak tahun 2005, sebelumnya memiliki kode wilayah W

^ Daerah dengan kode wilayah W sebelumnya memiliki kode wilayah L (eks Karesidenan Surabaya)

DK = Bali

DR = NTB I (Pulau Lombok: Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah)

EA = NTB II (Pulau Sumbawa: Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Dompu, Kabupaten/Kota Bima)

DH = NTT I (Pulau Timor: Kabupaten/Kota Kupang, Kabupaten TTU, TTS, Kabupaten Rote Ndao)

EB = NTT II (Pulau Flores dan kepulauan: Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Ngada, Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, Kabupaten Alor)

ED = NTT III (Pulau Sumba: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur)

KB = Kalimantan Barat

DA = Kalimantan Selatan

KH = Kalimantan Tengah

KT = Kalimantan Timur

DB = Sulawesi Utara Daratan (Kota Manado, Kota Tomohon, Kota Bitung, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan)

DL = Sulawesi Utara Kepulauan (Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud)

DM = Gorontalo

DN = Sulawesi Tengah

DT = Sulawesi Tenggara

DD = Sulawesi Selatan

DC = Sulawesi Barat

DE = Maluku

DG = Maluku Utara

DS = Papua dan Papua Barat

DF = Timor Timur (tidak digunakan, karena telah menjadi negara tersendiri)

Kesimpulan FUIB Atas Kerusuhan di Temanggung

Kerusuhan Temanggung yang terjadi Selasa (8/2/2011), ternyata menyisakan tanda tanya besar kenapa bisa terjadi. Banyak pihak memandang kerusuhan tersebut telah di-setting. Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menyebut secara jelas bahwa kerusuhan di Temanggung telah di-setting.

Pernyataan FUIB tersebut terbaca di dalam kesimpulan yang dirilis FUIB Online sebagai berikut:

  1. Adanya kesengajaan untuk memantik kemarahan massa dengan pelemparan gas air mata di depan para ustadz dan kyai.
  2. Kerusuhan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada kelompok tertentu yang memang merencanakannya.
  3. Setiap pengunjung yang masuk ke halaman Pengadilan Negeri Temanggung harus diperiksa dengan ketat oleh petugas Polri. Sehingga sangat aneh ketika terjadi pembakaran ban di halaman Pengadilan Negeri Temanggung. Siapa yang melakukannya? Siapa yang meloloskannya, sehingga ban yang ukurannya sangat besar bisa masuk?
  4. Salah satu pemicu kemarahan massa adalah ketidakadilan hukum dalam penanganan kasus ini.
  5. Apa yang telah dikerjakan oleh Antonius Richmond Bawengan adalah perbuatan yang sangat berbahaya, sangat potensial untuk memecah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, bahkan bisa menyebabkan disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  6. Dan Antonius Richmond Bawengan terbukti memperlihatkan militansinya dan sangat terlatih untuk melakukan penistaan agama semacam ini. Penampilannya sangat tenang, SAMA SEKALI TIDAK MERASA BERSALAH, dan dengan percaya diri menolak untuk didampingi pengacara. Bahkan, informasi sementara yang dihimpun, ada indikasi kuat bahwa Antonius juga melakukan aksi serupa di Poso yang memicu kerusuhan Poso, sebelum di Temanggung.
  7. Namun Polri hanya mau menyelidiki apa yang telah dikerjakan oleh Antonius Richmond Bawengan di Temanggung saja, tanpa mau menyelidiki latar belakangnya, latar belakang pendidikannya, organisasi yang memback-upnya, siapa pendukung dananya, siapa aktor intelektual yang ada di baliknya. Padahal, FUIB sangat yakin polisi punya kemampuan untuk mengungkap semuanya. Sikap polisi semacam ini akan memicu kelompok Antonius untuk berbuat serupa di tempat lain.
  8. Konsentrasi polisi saat kerusuhan terjadi ada di sebelah timur gedung Pengadilan Negeri Temanggung. Sementara di sebelah barat, jalur ke arah kota, sepi dari polisi. Ketika massa panik, otomatis mengarah ke arah kota. Keganjilan ini memicu pertanyaan, apakah konsentrasi massa sengaja diarahkan ke kota? Untuk apa?
  9. Ada proses peradilan yang dilanggar, sehingga berpotensi untuk menjadikan terdakwa terbebas dari semua dakwaan, ketika dilakukan peninjauan kembali (PK) di MA. Pelanggaran tersebut adalah:
  1. Tidak adanya pengacara yang mendampingi terdakwa, padahal ancaman hukumannya 5 (lima) tahun. Apakah ini kelalaian, atau kesengajaan yang dilakukan oleh majelis hakim PN Temanggung dalam upaya untuk membebaskan Antonius Richmond Bawengan melalui PK-nya nanti?
  2. Sidang pembacaan tuntutan oleh jaksa itu tidak jelas statusnya, karena hakim meninggalkan ruang sidang begitu saja, tanpa ada sepatah kata pun.

Kronologis Kerusuhan Temanggung Menurut FUIB

Sehubungan dengan terjadinya peristiwa kerusuhan berlatar belakang penistaan agama di Temanggung pada hari Selasa, 8 Pebruari 2011, muncullah pemberitaan di media baik elektronik maupun surat kabar yang tidak seimbang. Sebuah kelompok yang menamakan diri Forum Umat Islam Bersatu, melalui sebuah blog FUIBonline, yang beralamat di Temanggung memberikan kronologis. Pada tanggal 23 Oktober 2010, Antonius Richmond Bawengan yang merupakan warga Duren Sawit, Jakarta Timur, diketahui tertangkap tangan menyebarkan selebaran yang berisi penistaan agama. Salah satu selebaran itu diletakkan di depan rumah warga dusun Kenalan desa Kranggan, Kec. Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah, yang bernama H. Bambang Suryoko. Warga yang mengetahui perbuatan Richmond, bersama pengurus RT yang bernama Bp. Fatchurrozi (Fauzi), yang juga anggota Polsek Kaloran, langsung melaporkannya ke Polsek Kranggan, kemudian dilimpahkan ke Polres Temanggung. Pada tanggal 21 November 2010, oleh Kejaksaan Negeri Temanggung, berkas pemeriksanaan sudah dinyatakan P21 (lengkap). Sidang pertama digelar pada tanggal 13 Januari 2011, dengan agenda pembacan dakwaan. Sidang kedua digelar pada tanggal 20 Januari 2011, dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. Sidang ketiga digelar pada tanggal 27 Januari 2011, dengan agenda pemeriksaan dua orang saksi dan seorang saksi ahli. Sidang keempat digelar pada tanggal 8 Februari 2011, dengan agenda pembacaan tuntutan. Pada sidang ke empat, setiap pengunjung sidang yang masuk ke area Pengadilan Negeri Temanggung diperiksa oleh petugas, untuk memastikan tidak adanya benda-benda terlarang yang mereka bawa ke area tersebut. Setelah pembacaan tuntutan, massa mulai gelisah, hakim meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun, dan tersangka diamankan oleh aparat. Hal itu mengakibatkan suasana menjadi lebih gelisah dan massa menjadi tidak terkendali. Kemudian beberapa tokoh ulama berusaha menenangkan pengunjung sidang. Di antara tokoh tersebut adalah: KH. Syihabuddin (Pengasuh Ponpes di Wonoboyo) dan KH. Rofi’i (Pengasuh Ponpes di Kemuning). Setelah sekitar 30 menit kemudian sidang dilanjutkan dengan agenda pembacaan vonis, tanpa pledoi terlebih dahulu. Hakim memutuskan hukuman 5 (lima) tahun penjara, sesuai dengan tuntutan jaksa. Dalam suasana ketegangan tersebut, beberapa orang melarang penggunaan kamera, baik yang dibawa wartawan maupun warga, sehingga massa pun terprovokasi menjadi lebih emosional. Apalagi sidang sebelumnya ada insiden pemukulan terhadap seorang pengunjung yang dilakukan oleh seorang polisi bernama Kurniawan. Ada provokasi sekelompok orang yang memecah kaca di PN Temanggung. Suasana pun semakin ricuh. Aksi pecah kaca pun kemudian berlanjut, dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal, diikuti oleh pembakaran ban di tiga titik di lingkungan PN. Tidak diketahui dari mana ban tersebut masuk. Padahal, sebelum masuk halaman pintu gerbang timur PN (hanya satu pintu gerbang yang dibuka), setiap pengunjung sudah diperiksa dengan seksama oleh petugas menggunakan metal detector. Di depan tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari para Ustadz dan Kyai yang sedang melihat jalannya sidang, dilemparkan gas air mata, diikuti oleh suara tembakan. Menurut saksi mata, tidak ada tembakan peringatan terlebih dahulu . Kegelisahan massa semakin menjadi-jadi ketika putra pengasuh Pondok Al-Munawwar Kertosari tersebut, jatuh terkena tembakan, dan diisukan sampai meninggal dunia. Pengunjung sidang dikejar-kejar polisi. Selain mengejar pengunjung, beberapa polisi juga merusak puluhan sepeda motor pengunjung yang diparkir di seberang PN. Sebagian pengurus FUIB berlindung masuk ke Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah, dan menutup gerbang PAY untuk mengantisipasi masuknya orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Namun, polisi masih tetap mengejar mereka. Di depan pintu gerbang PAY, polisi mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. “Neng kene celeng… asu.. PKI kabeh. Saya bunuh!” Polisi melemparkan gas air mata tiga kali ke halaman PAY. Setelah terjadi dinegoisasi antara pimpinan massa dan polisi, akhirnya pemilik motor diperbolehkan mengambil motor. Namun mereka terlebih dahulu dipukuli dan diambil gambar motor dan pemiliknya. Saat itu, Polisi juga bertakbir dan berkata, “Polisi juga Islam.” Takbir dilafalkan secara cengengesan sambil memukul massa yang kelihatan mempunyai jenggot. Sekelompok orang tidak dikenal di depan BPR Surya Yudha mengajak massa untuk melanjutkan aksi ke Parakan, dan membakar gereja. Provokator serupa juga ada di sebelah barat. Sambil mengatakan, “Munafik!” ke orang-orang yang tidak mau mengikutinya, mereka terus mengajak massa untuk membakar gereja. Massa diam, tidak bergerak mengikuti mereka. Lalu, beberapa saat pembakaran beberapa gereja benar-benar terjadi. Tidak diketahui siapa kelompok yang membakar gereja tersebut. Beberapa saksi melihat di dalam gereja sudah ada orang yang ikut memprovokasi massa untuk merusak gereja dengan memulai pelemparan. Ketika ditanya identitasnya, orang-orang tersebut tetap tidak menunjukkan. Bahkan mereka langsung lari menghilang. Saksi lain melihat ada orang bercadar sudah berada di dalam gereja Pantekosta. Setelah gereja terbakar orang itu berlari keluar sambil mencopot cadarnya dan bergabung dengan massa penonton. Berdasarkan pantuan saksi di lapangan, beberapa orang tak dikenal mengajak masa untuk membakar gereja. Anehnya, gaya bicara orang tersebut menggunakan dialek luar Jawa. Hal serupa juga terjadi ketika ada isu Sholahuddin, korban putra pengasuh PP. Al-Munawaar, meninggal dunia. Ajakan provokasi itu disampaikan secara sporadis, singkat, habis itu orang tersebut menghilang. Korban yang berhasil diketahui sampai saat ini ada 9 orang, dilarikan di Rumah Sakit. Empat orang di antaranya yang masih dalam perawatan adalah: Sholahuddin, 40 th, putra pengasuh Ponpes Al-Munawar, Kertosari, Temanggung, luka tembak di kepala, dengan enam jahitan. Roy Hanif, 15 th, asal Gandurejo, Ngablak, Magelang. Luka tembak di kepala dan pelipis kiri. Bahu sebelah kiri berubah bentuk, dicurigai patah tulang. Madyo, 48 th, asal Braol, Campursari, Ngadirejo, Temanggung. Korban dilempar batu dari jarak dekat oleh personal Brimob di Taman Kartini, depan Stadion Bumi Phala, sekitar 300 m dari PN. Mengalami patah tulang di kaki sebelah kanan dan harus dioperasi. Suparman, 28 th, luka 3 cm di daerah mata kiri. Semua korban tersebut berobat atas biaya sendiri. (muslimdaily)

Jend (Purn) Ali Baz Khan: Ahmadiyah Tak Ada Masalah di Pakistan

Jend (Purn) Ali Baz Khan: Ahmadiyah Tak Ada Masalah di Pakistan

 
 

Rabu, 09 Februari 2011

Masalah Ahmadiyah kembali mencuat setelah bentrok berdarah di Desa Ciumbulan, Cikeusik, Pandeglang. Meski peristiwa ini cukup memilukan kita semua, namun musibah seperti ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya juga terjadi bentrok di Kuningan, Jawa Barat.

Tak hanya Indonesia, Pakistan pernah mengalami persoalan serupa. Tapi pemerintah di sana kemudian bertindak tegas. Pakistan memutuskan Ahmadiyah sebagai golongan di luar Islam. Mereka dianggap non-Muslim. Bagaimana itu bisa terjadi dan apa dampaknya kemudian?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hidayatullah.com mengutip wawancara Majalah Suara Hidayatullah dengan mantan Duta Besar Pakistan, Jenderal (Purn) Ali Baz Khan di kantornya Ali di Mega Kuningan Barat, Jakarta, beberapa waktu lalu. Wawancara ini telah dimuat bulan Januari 2009. []

Pemerintah Pakistan memutuskan Ahmadiyah sebagai kelompok non-Muslim. Apa latar belakangnya?

Ahmadiyah secara resmi dinyatakan sebagai non-Muslim pada tahun 1974 oleh parlemen Pakistan. Latarbelakangnya, karena banyaknya gerakan umat Islam Pakistan yang menentang Ahmadiyah.

Apa yang menyebabkan pertentangan itu?

Karena mereka melakukan dakwah (terang-terangan). Mereka berusaha menyebarkan paham (bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi setelah Nabi Muhammad SAW) kepada umat Islam. Hal itu kemudian ditanggapi dan dibahas di Parlemen.

Bagaimana pembahasannya di parlemen?

Hukum Islam dominan di Pakistan. Siapa saja yang tidak beriman bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, maka dia non-Muslim. (Padahal) parlemen waktu itu dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Ali Bhutto, perdana menteri paling liberal di Pakistan. Di masa dia (Ali Bhutto), Ahmadiyah dinyatakan sebagai non-Muslim.

Setelah itu, Konstitusi Pakistan diamandemen. (Salah satu hasil amandemennya) mereka (Ahmadiyah) dinyatakan sebagai minoritas. Yang berarti agama lain di luar Islam. Baru setelah itu diterbitkan lagi Gazette of Pakistan pada 1981. (Lembar negara yang diterbitkan oleh Pemerintah Pakistan, Kementerian Perundang-undangan dan Urusan Parlemen, atas persetujuan mantan presiden Jenderal M. Zia Ul Haq).

Apakah ada insiden atau bentrokan yang terjadi pada masa itu?

Tidak ada sama sekali. Semua berjalan dengan damai.

Apakah ada reaksi dari Ahmadiyah?

Tidak ada. Karena mereka sangat sedikit, dibanding dengan populasi umat Islam Pakistan.

Berapa jumlah pengikut Ahmadiyah saat itu?

Sekitar 2000 orang, sedang pada saat itu penduduk Pakistan seluruhnya (yang mayoritas Muslim) berjumlah 130 juta. Kebanyakan mereka tinggal di Lahore dan Rabwah.

Karena telah dinyatakan sebagai non-Muslim, sebagian besar mereka kemudian angkat kaki dari Pakistan, dan sekarang mereka bermarkas di London. Kebanyakan mereka pergi ke negeri Barat, seperti Amerika dan Eropa. Di luar Pakistan mereka bebas melancarkan dakwah mereka. Bahkan mereka membuat TV Satelit segala.

Mereka menyebar ke negeri-negeri yang moderat, (kemudian) mendapatkan proteksi. Itu sebabnya mereka bisa tumbuh pesat.

Bagaimana interaksi Ahmadiyah dengan umat Islam di Pakistan?

Tidak ada masalah. Tapi Ahmadiyah tidak lagi berdakwah kepada orang di luar jamaah mereka. Dengan begitu mereka hidup berdampingan.

Bagaimana hak Ahmadiyah sebagai warga negara di Pakistan?

Ahmadiyah mendapat tempat di pemerintahan, bahkan menempati posisi yang cukup tinggi. Mereka juga ada di militer. Jadi tidak ada masalah. Tidak ada diskriminasi sosial. Pemerintah memberi hak sosial yang sama. Kita juga memberi porsi kepada pemeluk Hindu, Parsi, Sikh, dan termasuk Qodiyani (Ahmadiyah).

Saya berasal dari Angkatan Darat (AD). Teman baik saya di AD seorang (Ahmadiyah) Qodiyani. Jadi tidak ada diskriminasi sosial bagi mereka sebagai seorang warga negara.

Apa konsekuensi yang harus dijalankan pemeluk Ahmadiyah terhadap keluarnya lembaran negara (Gazette of Pakistan) tersebut?

Mereka hanya dilarang melakukan penyebaran paham keagamaan mereka. Mereka dibolehkan melakukan aktivitas dalam tempat ibadah mereka –yang mereka sebut markas, dan di dalam lingkungan mereka sendiri.

Mereka tidak dilarang melakukan amal-amal ibadah umat Islam?

Mereka tidak dilarang melaksanakan shalat. Mereka melakukan semuanya. Shalat lima waktu, puasa, zakat, dan jika mereka lari ke luar Pakistan, mereka juga melaksanakan haji.

Mereka tidak bisa pergi haji dari pakistan?

Mereka bisa berangkat haji dari negeri mana saja di dunia, kecuali Pakistan.

Bagaimana awal mula Ahmadiyah masuk Pakistan?

Ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini lahir di Qodian. Sejak partisi Pakistan-India, Qodian masuk wilayah India. Mayoritas pengikutnya pindah ke Pakistan. Karena waktu itu masih belum ada yang menyatakan (secara resmi) mereka sebagai non-Muslim. Mereka tinggal di Rabwah dan Lahore yang menjadi markas mereka sekarang. Tapi pusat aktivitas mereka sekarang di London.

Bagaimana pandangan Anda mengenai kasus Ahmadiyah di Indonesia?

Ahmadiyah berkembang di Indonesia, saya tahu itu. Tapi Ahmadiyah sudah tidak lagi menjadi masalah di Pakistan, sejak 34 tahun lalu.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia (dengan mengeluarkan SKB tiga Menteri) sama dengan yang dilakukan di Pakistan.

Tapi pemerintah kami belum menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Muslim?

Pemerintah Indonesia tidak menyatakan mereka sebagai non-Muslim (karena) konstitusi Indonesia tidak (berlandaskan) agama. Undang-Undang Dasar Indonesia itu sekuler. Sedangkan konstitusi Pakistan didasari agama Islam. Jadi agama negara Pakistan adalah Islam. Pakistan adalah Negara Islam, dan Islam sebagai agama negara.

Status non-Muslim bagi penganut Ahmadiyah di Pakistan apakah tertera pada kartu tanda penduduk mereka?

Tidak. (sambil mengeluarkan KTP-nya) Tidak ada kolom agama di KTP Pakistan. Isinya nama, jenis kelamin, nama ayah, tanda pengenal (seperti tahi lalat, dsb), dan tanda tangan.

Bagaimana dengan di paspor?

Di paspor ada. Tapi banyak yang tidak mau mengaku di paspor.

Bagaimana usaha Pakistan untuk menyaring jamaah calon haji Ahmadiyah kalau dilarang haji? 

Ada form yang harus mereka isi ketika akan berangkat haji: Apakah terbebas dari Ahmadiyah? Mereka juga harus mengisi kolom sekte, apakah mereka Syiah, dan sebagainya.

Atase Pers dan Budaya kedubes Pakistan, Saeed Javed, yang juga hadir dalam wawancara menimpali, “Para calon haji yang ingin berangkat dari Pakistan harus lolos pemeriksaan bahwa mereka bukan (Ahmadiyah) Qodiyani.

Apakah Anda mengikuti pemberitaan kasus Ahmadiyah di Indonesia?

Iya, saya mengikuti berita-berita tersebut. Makanya saya tahu apa yang terjadi (terhadap Ahmadiyah) di Bogor, Mataram, dan lainnya. Kalau menurut saya pribadi, jangan lakukan kekerasan terhadap mereka. Karena itu adalah kewenangan pemerintah untuk menindak mereka. (hidayatullah)

media TV menampilkan sumber

Bukan satu-dua kali, jika menyangkut Islam, media TV menampilkan sumber monolog, utamanya datang dari militer atau polisi

Tak lama setelah pengaruh Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki Ustad Abubakar Ba’asyir (ABB) ditangkap Densus 88, sebuah stasiun TV mengadakan acara dialog LIVE.

Melalui seorang presenter, stasiun televisi tersbut membuka kesempatan bagi pemirsa untuk memberikan opininya tentang penangkapan Ustad ABB. Tanpa disangka, si penelpon, rupanya sejalan dengan pemikiran ABB, di mana ia meyakini ada rekayasa asing dalam penangkapan tersebut. Tapi ada yang menarik dalam sesi tanya jawab itu. Disaat  sang penelpon mengatakan bahwa Densus 88 lah yang sebenarnya melakukan tindakan “teror” , telpon sang penanya langsung diputus oleh pihak  TV.

Rupanya presenter tahu betul,  si penelpon, kurang sejalan dengan misi TV nya dalam dialog bertema terorisme ini.

Kasus-kasus seperti ini di media massa kita memang bukan terjadi sekali-dua kali. Bulan Juli 2009, beberapa hari pasca peledakan bom Kuningan, sebuah stasiun TV mewawancarai Mantan Kepala Densus 88 Polri Brigjen Pol. (Purn) Suryadarma Salim. Dengan panjang lebar mantan Kepala Satgas Antiteror Polri ini secara monolog, menjelaskan masalah terorisme. Ia, mengatakan, “Mereka ingin mendirikan Daulah Islamiyah (negara Islamiyah di Indonesia), dan habitat mereka itu paling subur di Indonesia.”

Bisa dibayangkan, seorang polisi–bukan seorang ahli mengenal liku-liku gerakan Islam—bahkan boleh dikata kurang paham Islam, membahas terorisme dan kaitannya dengan Islam secara monolog, tanpa pembanding.

Yang mengejutkan, tayangan itu disiarkan lagi  berulang-ulang selama beberapa hari, dari pagi, sore dan malam hari.

Sekedar catatan, rata-rata  untuk tayang iklan di TV butuh biaya sekitar Rp 10 juta per/ 30 detik. Memunculkan Suryadarma Salim dengan waktu panjang berulang kali, bukan sebuah kebetulan. Pastilah ada udang dibalik batunya.

Berapa juta orang “terhipnotis” kampanye Suryadarma Ali hari itu?

Islam dan Propaganda media

Dua hal yang tak bisa dipisahkan dalam setiap misi media adalah, membangun opini publik dan propaganda.

Pertama, propaganda selalu memberikan informasi yang dirancang dengan pesan yang sudah disiapkan tujuannya. Tentusaja, terserah pengelola media yang bersangkutan. Semua pesan dan faktanya,  adalah pilihan redaksi. Pesan propaganda harus dapat menghasilkan pengaruh. Jadi, propaganda bukan suatu kebetulan, dia adalah memanipulasi buah pikiran yang dikehendaki.

Kedua, opini publik (public opinion). Secara psikologis, opini publik pada dasarnya ditentukan oleh pendangan dan kepentingan Pribadi atau golongan (dalam hal ini media). Meski demikian, kemampuannya mampu menggerakkan perangkat politik dan Negara.

Korban dua hal ini bisa dilihat dalam kasus wacana FPI, Poligami, Nikah Sirri dan terorisme.

Syekh Puji dicitrakan sangat negative karena ia menikahi anak SMP. Karena itu, media memberi image orang menikah “sirri” sebagai kejahatan, melebihi koruptor. Sebaliknya jutaan orang justru dimuliakan karena mereka Kumpul Kebo. Andaikata Syekh Puji meniduri 100 WTS, dia tak akan dihukum dan tidak akan pula dicitrakan seolah “jahat”.

Mantan Ketua PBNU pernah berseloroh, “Jika nanti ada polisi menggerebek orang yang Nikah Sirri, lebih baik mengaku saja Kumpul Kebo.”  Pernyataan ini, sekedar menunjukkan, betapa tak adilnya hukum dan logika media massa di negeri ini.

Bukan sekali-dua kali umat Islam dikadalin (dikerjain, red) media massa tanpa bisa melakukan pembalasan atau memberikan hal jawab secara adil dan sepadan.

Di sinilah letak penting mengapa umat Islam harus memiliki media. Hanya saja, meski sering menjadi korban, umat Islam sering mengabaikan arti penting keberadaan media. Kaum  Muslim kaya, biasanya, sering mengalokasikan uangnya untuk kampanye jadi Bupati, Gubernur atau Presiden.

Betapa sering orang kaya-raya menghambur-hamburkan uangnya untuk kampanye Pilkada? Toh akhirnya mereka batal jadi pejabat.

Jika umat Islam memiliki media yang bagus dan kuat, dan dikelola secara baik,  maka, pemberitaan dan pembentukan opini apapun bisa dikelola secara baik.  Isu negatif tentang Islam akan dengan mudah pula dinetralisir. Semua pencitraan buruk tentang Islam oleh Barat  juga bisa terbendung.

Adalah pernyataan Dr. Yusuf Qaradhawi yang sangat luar biasa bagus. Beliau mengatakan, “Kalau saja kita (umat Islam) diberi kebebasan selama 20 tahun untuk membina umat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa (Barat) atau konflik dengan mereka, itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan umat Islam”.

Faktanya, umat Islam tak berdaya bukan karena mereka tak berdaya. Yang ada, karena mereka “diperdayai”.

Dr. Zakir Naik, seorang ilmuwan, kritolog dan seorang dai asal India, pernah merasakan ini memanfaatkan peluang emas mengisi seorang diri, beliau pernah beusaha me-lobby sebuah stasiun televisi untuk program Islam tanpa disensor, ditutup-tutupi atau diatur keinginan rating. Ketika itu waktu yang diberikan hanya beberapa puluh menit saja, namun Alhamdulillah, program itu mampu menyedot perhatian pemirsa dan direspon secara positif. Sampai akhirnya stasiun televisi lokal tersebut rela membayar Dr. Zakir Naik atas program yang dibuatnya tersebut. Namun beliau menolak, dengan mengatakan, “Saya tidak butuh uangmu, cukup berikan saya waktu lebih banyak lagi untuk mendakwahkan Islam di televisimu”.

Sesungguhnya jika kehidupan dunia ini bisa diibaratkan game (permainan), dan umat Islam diberi waktu memainkan peran secara adil, maka hasilnya akan berbeda. Tapi, faktanya tidaklah demikian.

Media dan dakwah

Kepemilikan media sangat menentukan keberhasilan dakwah Islam melalui media. Itu juga yang menjadi alasan mengapa dakwah Islam belum bisa efektif dan tersebar luas di seluruh pelosok dunia.  

Umat Islam harus berazam untuk memiliki media massa yang baik atau memperkuat yang sudah ada. Media  yang adil dalam penyampaian berita, sehingga dampaknya bisa dirasakan pada semua makhluk, tak hanya umat Islam sendiri. Bahkan bisa dirasakan umat lain.

Bukan media yang menuhankan rating. Media massa yang menjadikan ideologinya profit oriented, ia cenderung menghalalkan segala cara. Karenanya, jangan heran, banyak orang cerdas tiba-tiba hilang kendali setelah mereka bergabung di media massa. Sebelum masuk ia dikenal anak-anak kampus yang cerdas. Sebab, rata-rata IP masuk menjadi wartawan selalu diatas 3 dan memiliki kemampuan bahasa asing yang baik. Sayangnya, setelah jadi wartawan, kebiasaan membaca, mendengar pendapat orang dan kemampuan menganalisa jadi tumpul. Sebab, ia lebih mengejak “eklusivitas” berita. Secara akademik, mungkin ia masih cerdas, tapi, ia sudah tak memiliki kecerdasan “hati”.

Hampir semua orang yang digerebek Densus 88 langsung disebut media “teroris” meski pengadilan belum berjalan. Media tak pernah mengukur, bagaimana perasaan anak dan istri mereka di lingkungan, di sekolah dan di tempat kerja mereka. Sebutan ini saja sudah hukuman yang belum tentu bisa hilang selama puluhan tahun.

Tapi tak usah berharap banyak, sebab, media yang visi utamanya hanya profit oriented, bisa dipastikan, tak akan melahirkan wartawan/penulis/reporter/redaktur yang memiliki kecerdasan hati dan perasaan. Hasilnya selalu begitu.

Selama orientasi pemilik media hanyalah modal dan profit, maka selamanya tak akan sejalan dengan tujuan dakwah dan Islam itu sendiri. Di sinilah letak arti penting media Islam.

Meski demikian, pekerjaan mengelola media bukanlah pekerjaan sederhana. Sebab ia dibutuhkan ketrampilan dan keahlian yang baik dan benar. Bukan asal membuat media.

Andaikata, saat ini semua media, TV dan kantor berita dihibahkan kepada umat Islam,  belum tentu, umat Islam mampu mengelolanya dengan baik.

Sumber daya umat Islam dalam mengelola media ini masih kurang akibat ketidakterarikan umat akan bidang ini.  Di saat yang sama, banyak umat Islam membanggakan diri media-media yang selama ini justru sering “memusuhi” Islam secara diam-diam. Bahkan tak terasa pula, ia menjadi wartawan/penulis/pembaca bahkan menjadi pelanggan setianya. (Abdurrahman.A_hidayatullah)

Din Syamsuddin: Densus Jangan Membasmi Teror dengan Teror!

Apapun motif dan tujuannya, penembakan di tempat ibadah tidak ditoleransi,” ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah

Kasus penggerebekan dan penembakan tim Densus 88 terhadap Khairul Ghazali di Tanjung Balai bebera waktu lalu kini melahirnya berbagai pertanyaan di kalangan Islam.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr Din Syamsuddin mengatakan, pihaknya mempertanyakan atas insiden yang kini sedang ramai diperbincangkan kaum Muslim tersebut.

“Apapun motif dan tujuannya, tindakan kekerasan apalagi penembakan di tempat ibadah tidak ditoleransi,” ujarnya kepada hidayatullah.com.

Dini, yang saat dihubungi berada di Amman, Yordania meminta agar Densus 88 tak memberantas tindakan terorisme dengan cara serupa. “Densus jangan membasmi terorisme dengan terror, “ tambahnya.

Sedangkan Munarman, SH, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, penembakan tersangka saat sedang shalat sebuah kebiadaban.

“Penembakan oleh tim Densus 88 terhadap umat Islam yang sedang shalat jelas-jelas bentuk kebiadaban,” ujarnya kepada hidayatullah.com.

“Kasus ini harus diusut tuntas, termasuk apakah ada keterlibatan jenderal yang diduga kuat sebagai perpanjangan tangan asing.”

Munarman menengarai, ada seorang jenderal yang dinilai telah membentuk tim sendiri guna melakukan “pembunuhan” terhadap aktivis Islam.

“Kalau ini tidak segera diusut, maka, dikhawatirkan umat Islam akan melakukan perlawanan yang massif, “ tambahnya. (hidayatullah)

Hendardi: Penembakan Saat Shalat Melanggar HAM

Hidayatullah.com–Ketua Badan Pengurus SETARA Institut Hendardi dalam siaran persnya siang ini menyesalkan tindakan penganiayaan yang menimpa Khairul Ghazali, warga Bunga Tanjung, Datuk Bandara Timur, Tanjung Balai, pada Ahad (19/9), salah seorang yang didakwa teroris dan ditembaki ketika yang bersangkutan sedang menjalankan ibadah shalat.

“Jika benar ini terjadi, tindakan Densus 88 Mabes Polri merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, karena penggunaan senjata api hanya dibenarkan jika sasaran melakukan perlawanan atau melarikan diri,” kata Hendardi dikutip Suara Merdeka Cyber News.

Menurutnya SETARA Institute secara prinsip mendukung setiap langkah Kepolisian RI mengambil langkah-langkah dalam pemberantasan terorisme di Indonesia, namun di sisi lain, SETARA menyesalkan kinerja Densus 88 Mabes Polri yang tanpa kontrol dan membabi buta. Diskresi yang melekat pada Densus 88 Mabes Polri mutlak dievaluasi, sehingga upaya pemberantasan terorisme tetap dalam koridor penegakan hukum dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Audit terhadap kinerja Densus 88 Mabes Polri harus menjadi agenda Polri dan DPR RI.

Sudah Ditinggalkan

Sementara itu, Sekjen International Conference Islamic Scholar (ICIS)), KH Hasyim Muzadi, mengatakan, perang terhadap “terorisme” dalam pemberantasan terorisme seperti yang diterapkan polisi sudah mulai ditinggalkan.

Ia menggambarkan sikap zaman Gorge W Bush yang disebut ‘pre-emptive action’ (pukul dulu, urusan belakang) dinilai gagal, bahkan membawa Amerika ke kemerosotan, dan sudah kadaluwarsa.

Menurutnya, Barack Obama bahkan telah mengganti dengan rekonsiliasi Barat-Islam yang ternyata membawa kemajuan perdamaian dunia.

Karenanya, mantan Ketua Umum PBNU itu merasa aneh di Indonesia yang tempo hari membawa teroris ke meja hijau dan kemudian dihukum mati (Amrozi cs), serta mendapatkan pujian internasional, justru saat ini bergeser ke pre-emptive action yang sudah kadaluarsa.

“Kalau penyerangan semacam ini berlanjut dalam gerakan yang tanpa koordinasi dengan angkatan lain, apalagi belum mendapatkan dukungan opini dan partisipasi masyarakat Muslim indonesia, Polri bisa kelelahan dan para pengacau (teroris) semakin meningkatkan militansinya, kemudian berani bertindak lebih brutal.” (smcn/hidayatullah)

Istri: Densus Injak Ghazali Saat Sedang Shalat

 Hidayatullah.com–Kesaksian Kartini Panggabean melalui pengacaranya mengungkapkan kronologis penyerbuan Densus 88 ke rumah suaminya, Ustadz Khairul Ghazali di Tanjung Balai beberapa waktu lalu. Menurut keterangan yang diterima Waspada Online, kesaksian itu disampaikan Tim Kuasa Hukum keluarga Ghozali, Adil Akhyar, Ahmad Sofian, dan Ikhwan,  Ketiganya bersaudara dengan Ghazali.

Menanggapi itu, Kepala Polda Sumatera Utara, Irjen Oegroseno, meminta pihak keluarga Ghazali untuk melapor ke Mabes Polri atas insiden yang dialami itu. Jika ada penyimpangan secara prosedur yang dilakukan Tim Densus 88 saat menjalankan tugas, pasti akan ada langkah hukumnya.

“Kalau ada indikasi kesalahan secara prosedural dalam penangkapan dan penggrebekan itu, akan ditangani oleh Propam Mabes,” kata Oegroseno.Inilah pengakuannya sebagai mena dikutip Waspada Online, Senin, (27/9).

Berikut keterangan yang disampaikan:

Nama saya Kartini Panggabean, kelahiran 20 Februari 1980. Panggilan saya Cici, anak-anak memanggil saya Ummi. Saya adalah isteri dari Ustadz Ghozali, anak-anak memanggilnya Buya, saya memanggilnya Bang Jali. Saya tinggal bersama suami saya di di Jalan Bunga Tanjung Gang Sehat. Saya bersama Bang Jali tinggal bersama empat anak kami. (Umar Shiddiq, Raudah Atika Husna, Ahmad Yasin dan Fathurrahman).

Bang Jali lahir tahun 1963, tamat SD 1971. Kemudian bang Jali Masuk SMP Muhammadiyah di Sei. Sikambing Medan. Bang Jali tidak tamat SMP, berhenti karena protes terhadap sekolah SMP di Indonesia memakai celana pendek (tidak menutup aurat) Secara otodidak Bang Jali belajar menulis.

Dia menjadi kolumnis tetap di beberapa surat kabar yang terbit di Medan. Kemudian Bang Jali ke Malaysia selama 10 tahun. Aktif menjadi wartawan di majalah Islam.

Tahun 1996-2000 bang Jali pulang ke Indonesia menetap di Medan membuka kursus komputer, kemudian ke Malaysia lagi pada tahun 2000-2004 bekerja sebagai penulis buku di beberapa penerbitan. Sejak 2004-2010 menetap di Tanjungbalai sebagai penulis buku-buku agama yang produktif dan semua diterbitkan di Malaysia, lebih kurang 50 judul buku. Ada satu judul buku yang diterbitkan di Indonesia. Selain menulis, Bang Jali juga berprofesi sebagai pengobat tradisional (bekam). Bang Jali juga mengisi pengajian.

Sejak satu bulan terakhir (bulan Agustus 2010), Bang Jali tidak pergi ke mana-mana, atas permintaan saya selaku Ummi anak-anak, alasan saya karena saya sedang hamil tua, hari-hari menjelang persalinan sudah kian dekat. Saya meminta Bang Jali untuk menemani saya melahirkan.

Begitu pun, seingat saya Bang Jali sekali ada pergi ke Medan awal Agustus ke Medan. Itu pun karena menjenguk ibunya di salah satu rumah sakit di Medan. Saya melahirkan anak putera saya yang keempat pada tanggal 28 Agustus 2010 (usianya 3 minggu).

Sejak saya melahirkan bayi yang kami beri nama Fathurrrahman Ramadhan itu, Bang Jali juga tidak ada pergi ke mana-mana karena saya tidak ada teman di rumah.

Di saat waktu Maghrib, hari Minggu sekitar jam 18.45 WIB menjelang Senin malam, tanggal 19 September 2010, saya, bayi saya, dua perempuan dewasa (istri Abu dan teman Deni), Buya, Dani, Deni, Alek, Abdullah, dan 2 orang lagi anak tamu (salah satu dari dua perempuan dewasa), berada di rumah. Jadi, di dalam rumah tersebut 10 orang, terdiri dari 5 laki-laki dewasa, 3 perempuan dewasa, 3 anak-anak. Saat adzan Maghrib terdengar, Bang Jali bersiap-siap melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Bang Jali, Deni, Deden, Alek, Abu mengambil wudhu. Saya bilang kepada Bang Jali, Buya bajunya diganti saja, basah kena air wudhu. Saya berada di ruang tamu, menyusukan anak saya Fathur.

Bersama saya dua perempuan dewasa. di dekat pintu depan rumah, pintu rumah kami hanya di depan, rumah kami tidak ada pintu belakang. Saya memanggil ketiga anak untuk pulang ke rumah, karena sudah masuk waktu Maghrib. Bang Jali dan empat temannya mulai melaksanakan sholat Maghrib berjamaah dengan Bang Jali sebagai imamnya. Mereka sholat di ruang belakang dekat dapur.

Dani, usianya sekitar dua puluh lima tahun tahun adalah murid mengaji Bang Jali. Kerjanya sehari-hari menjahit gorden, dia tinggal di Tanjung Balai. Dani membawa dua orang temannya, Alek (30 tahun) dan Deni (20 tahun) ke rumah. Bang Jali sebelumnya tidak mengenal kedua orang itu. Sejak saat itu, Deni dan Alek menginap di rumah. Tapi Dani tidak menginap di rumah. sedangkan alek dan deni saya tidak mengenalnya.

Mengenai Abu, atau Abdullah (35 tahun), saya tidak jelas orang mana berasalnya. Jadi Deni dan Alek sudah menginap 2 minggu di rumah kami, kedatangan mereka ke Tanjungbalai karena rencana mau cari kerja, saat itu mau hari hari raya. Bang Jali bilang ini sudah dekat hari raya, tidak mungkin ada kerjaan.

Tunggulah habis hari raya. Jadi mereka di rumah kerjanya hanya makan tidur. Seingat saya selama ini tidak ada kegiatan yang mencurigakan.

Tiba-tiba sebuah mobil datang, terdengar suara dari luar ada orang berteriak, “keluar!” Saat itu ketiga anak saya masih bermain di rumah tetangga. Saya mau memanggil anak-anak untuk pulang, saya pun berjalan menuju pintu depan rumah. Saya menyuruh mereka masuk, tapi mereka tidak mau masuk, saya sempat melihat wajah mereka seperti ketakutan. Saya terkejut karena pas saya di depan pintu saya lihat sudah turun dari mobil 30 orang bersenjata.

Anak-anak saya diam tak bersuara. Densus 88 langsung saja menerobos masuk ke dalam rumah dengan bersenjata. Mereka semuanya ada sekitar 30 orang membawa senjata. Mereka dari samping sebagian, masuk ke dalam rumah sebagian, sambil melepaskan tembakan.

Saya sambil menggendong bayi saya, dua perempuan dewasa serta anak-anaknya ditodongkan senjata sama Densus 88. Sepasang daun pintu rumah kami ditunjang (ditendang) sama Densus 88. Tidak ada baku tembak, tidak ada perlawanan dari dalam rumah, karena Bang Jali sedang sholat, sedang membaca surah al-Qur’an sehabis membaca surah al-Fatihah.

Tiba-tiba tiga makmum (Alek, Deni dan Dani) keluar dari shaff (membatalkan sholat mereka) karena mendengar suara ribut tembakan dan segera mengetahui datangnya orang-orang bersenjata. Alek, Dani dan Deni lari menuju kamar mandi. Alek keluar dengan membobol seng (atap) kamar mandi. Orang-orang yang sudah masuk rumah menembaki mereka. Deni dan Dani ditembaki secara membabi buta sewaktu mereka di depan kamar mandi.

Saya, dua perempuan dewasa yang bersama saya, bayi saya yang berumur 20 hari, dan anak tetangga yang balita itu menyaksikan kejadian itu. Jadi dua orang ditembak di kamar mandi, satu orang lagi lari. Bang Jali dan seorang makmumnya, Abu masih tetap melanjutkan sholat, walaupun orang-orang bersenjata itu sudah masuk ke dalam rumah, di ruang belakang dekat dapur. Bang Jali tetap melanjutkan membaca surah al-Qur’an.

Tapi orang-orang bersenjata itu langsung menarik paksa Bang Jali, sholat Bang Jali dihentikan secara paksa. Buya ditunjangi (ditendang) saat sholat kemudian dipijak-pijak (diinjak-injak) hingga babak belur. Saya kasihan melihat Bang Jali karena saat itu dia sedang sakit batuk. Bang Jali diseret sama Densus, bang Jali tak henti-hentinya meneriakkan takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Saya masih dalam todongan senjata bersama dua perempuan dan tiga anak-anak. Kami langsung disuruh ke rumah tetangga sambil ditodong. Saya digiring ke rumah tetangga sambil ditodong senjata, di rumah tetangga. Anak-anak saya dari tadi memang berada di situ. Saya dan anak-anak saya bisa mengintip (melihat dari sela-sela atau lobang) kejadian yang terjadi di rumah kami dari rumah tetangga. Anak-anak saya berteriak-teriak tidak tak henti-hentinya.

 “Ummi, Ummi itu Buya, itu Buya.” Anak-anak memberitahu saya mereka melihat Buya mereka dipijak-pijak (diinjak-injak). Mereka menembaki rumah kami dengan membabi buta, walaupun saya sangat yakin Bang Jali tidak ada senjata. Bang Jali hanya terus bertakbir, Allahu akbar, hanya itu yang bisa Bang Jali lakukan.

Mereka menembaki saja walau tidak ada perlawanan. Dari luar mereka menembaki, di dalam juga menembaki, mereka dalam waktu satu jam itu menembak terus dengan membabi buta. Tiba-tiba ada yang menggiring saya keluar, saya dibawa ke mobil Densus 88.

Saya terus menengok (melihat) ke arah Bang Jali tapi sudah tidak terlihat. Saya tengok (lihat) suami kawan saya (Abu) dibawa ke mobil tak berapa lama. Densus membentak saya menanya saya di mana tas Bang Jali. Saya jawab (katakan), “Tengok saja sendiri.” Mereka semua penakut, saya yang disuruh mengambil tas Bang Jali, mereka takut granat, padahal tidak apa-apa di tas Bang Jali.

Satu jam kemudian polisi (dari Polresta Tanjung Balai) datang ke sana, polisi pun rupanya tahu apa-apa mengenai kejadian itu. Densus pergi begitu saja. Saya tidak tahu informasi ke mana Bang Jali dibawa, apakah Bang Jali dibawa ke Medan atau kemana.

Dari pihak Polres malah menanyakan sama saya ke mana Bang Jali dibawa Densus. Saya dinaikkan ke mobil Patroli Polresta Tanjungbalai dibawa ke kantor Polresta Tanjungbalai. Saya tidak dikasih pulang ke rumah.

Esok hari, tanggal 20 September, saya masih tidak dikasih pulang. Sebagian besar anggota Polres Tanjung Balai memperlakukan saya dengan baik, mereka kasihan melihat saya karena menengok anak saya kecil (bayi), tapi ada juga polisi di sini yang jahat dan memperlakukan saya sewenang-wenang.

Saya ingin tahu kabar suami saya. Saya lihat ada koran, saya ambil untuk saya baca. Polisi berpakaian preman itu merampas koran itu dari tangan saya. Hati saya sangat sakit, tapi saya diam saja. Kapolresta baik sama saya. Dia menanyakan saya, apakah mau pulang ke rumah mengambil baju?

Saya sudah bilang sama penyidik cemana (macam mana) ini, Pak, kalau saya masuk tahanan jelas status saya, tapi di sini saya tidak jelas sebagai apa, saya tidak tahu apa-apa. Kata penyidik tunggu kabar dari Medan saja, baru saya kasih informasi di sini.

Saya sedih karena Bang Jali tak bisa dijumpai, karena dia sudah babak belur dipijak-pijak dua puluhan orang. Mereka main serbu saja, mereka itu begitu datang tak ada basa-basi lagi. Dinding rumah kami rusak. Polisi pun tidak boleh lewat-lewat di situ selama satu jam itu.

Padahal kan semua pakai peraturan. Polresta Tanjungbalai membantu saya mempertemukan saya dengan keluarga saya agar anak-anak saya yang empat orang tidak tinggal di tahanan. Saya dipinjamkan telepon sama Polisi untuk menelepon adiknya agar saya bisa menitipkan anak-anak saya kepada keluarga kecuali yang bayi tetap bersama saya, karena dia masih saya susukan umurnya kan baru 3 minggu.

Pada 20 September 2010 sekitar jam 09.00 WIB pagi saya pertama kali menghubungi keluarga. Saya mengasih tahu, saya sekarang di Polresta Tanjung Balai, tidak boleh keluar dari sini karena saya kata polisi dijadikan saksi. Adik saya ke ke Tanjung Balai hari Senin, 20 September itu juga, adik saya menjenguk saya. Kondisi saya sudah beberapa hari tetap tak jelas, tidak dikasih pulang, padahal saya sudah di BAP hari Minggu sampai sekarang tidak keluar-keluar.

Tidak jelas, tidak boleh pulang, soalnya tidak ada yang mau datang menjenguk saya, adik saya pun hanya datang untuk mengambil si Umar, dibawa ke sana, kasihan bang Jali. Di sini saya bayi saya tidur dan hidup di sebuah ruangan yang menyerupai gudang kertas-kertas, hanya beralas tikar plastik, kasihan Fathur (bayi saya), baru 3 minggu usianya. (was/hidayatullah)

Mempertanyakan Keberhasilan DENSUS

SETELAH sekian tahun terus-menerus menerima puja dan puji kini orang mulai mempertanyakan efektivitas kerja Markas Besar (Mabes) Polri menangani terorisme dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror. Betapa tidak?

Data yang disampaikan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri kepada pers Jumat, 24 September lalu, menyebutkan dalam 10 tahun ini polisi berhasil meringkus 563 tersangka teroris. Dari jumlah itu, 471 di antaranya telah diadili, 44 orang tertembak mati, 10 orang tewas melakukan aksi bom bunuh diri. Sejumlah tokohnya seperti Azhari, Noordin M. Top,  dan Dulmatin, telah mati tertembak.

Anehnya, setelah begitu banyak teroris diringkus atau dilumpuhkan ternyata aksi terorisme tak mereda. Jumlah teroris pun seakan bertambah saja mengikuti kata pepatah: mati satu tumbuh seribu. Malah kelompok teroris itu dinilai berhasil merampok Bank CIMB Niaga milik perusahaan asing di Medan di siang bolong tanpa sedikit pun bisa dihalangi aparat keamanan pada 18 Agustus lalu.

Belasan perampok bersenjata api itu sempat menembak mati seorang Brimob penjaga bank, lalu dengan santai berboncengan sejumlah sepeda motor membawa lari ratusan juta rupiah duit bank. Inilah pertama kalinya perampokan bank terjadi terang-terangan di siang bolong dan direkam kamera

Lebih dari itu, kelompok teroris bersenjata telah menyerbu kantor Polsek Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu dinihari, 22 September lalu. Aksi itu diduga  adalah tindak pembalasan kelompok teroris atas penggerebekan dan penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88, beberapa hari sebelumnya.

Penyerbuan itu menyebabkan tiga anggota Polri tewas: Aiptu Baik Sinulingga, Aipda Deto Sutejo, dan Bripka Riswandi. Sebelumnya, penggerebekan yang dilakukan Densus 88 terhadap kelompok yang dituduh teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak (Sumatera Utara) serta Lampung, Minggu, 19 September 2010, telah menangkap 18 tersangka teroris, tiga di antaranya ditembak mati. Jadi kematian tiga kawanan teroris telah berbalas dengan terbunuhnya tiga polisi di Hamparan Perak.

Selama ini kelompok teroris pernah menyerang pos polisi. Di tahun 2005, misalnya, pos Brimob di Dusun Wailisa, Seram, Maluku, telah disatroni. Lima anggota Brimob dan seorang sipil terbunuh. April tahun ini, pos polisi di Purworejo, Jawa Tengah, juga diserang dan dua polisi terbunuh. Tapi kalau aksi balasan langsung, itu baru pertama kali terjadi yaitu dalam kasus Hamparan Perak.

Keberhasilan kelompok teroris melakukan pembalasan kepada polisi, menurut  mantan Kepala BIN Hendro Priyono, menunjukkan kelompok itu cukup kuat. ‘’Kalau tak cukup kuat, mereka tak akan berani unjuk gigi menyerang markas Polsek,’’ kata Hendro. Apalagi, serangan balasan dilakukan hanya berselang tiga hari setelah Densus 88 mengobrak-abrik ‘’sarang’’ mereka.

Pertanyaan besar sekarang: setelah ratusan orang ditangkap dan puluhan orang dibunuh, mengapa kelompok teroris tetap kuat dan mengancam? Ini jelas pertanyaan yang amat sulit dijawab. Tapi yang pasti ini adalah bukti kongkret kegagalan pemerintah yang dipimpin Presiden SBY dalam menangani terorisme.

Dalam penyerbuan kantor Polsek Hamparan Perak diidentifikasi dari peluru yang ditemukan dan kesaksikan penduduk bahwa kawanan itu terdiri dari belasan orang membawa setidaknya tiga jenis senjata: senapan serbu AK-47 atau AK-56, senapan serbu SS-1 atau M-16, dan pistol jenis FN. Senjata-senjata itu tergolong senjata polisi atau TNI. Memang AK sekarang sudah tak dipakai. Tapi senjata itu masih  tersimpan di gudang-gudang Polri.

Surat dakwaan jaksa yang dibacakan di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, untuk mengadili mantan polisi Sofyan Tsauri, 23 September lalu, mengungkapkan bahwa senjata api yang digunakan kelompok teroris untuk berlatih di Aceh (kelompok Dulmatin), justru berasal dari gudang senjata Markas Besar (Mabes) Polri.

Pembobolan gudang senjata Polri dilakukan Sofyan melalui seorang anggota polisi lainnya bernama Ahmad Sutrisno yang bertugas di gudang senjata. Dengan gampang mereka membawa 24 pucuk senjata terdiri dari AR-15, AK-47, AK-58, revolver, SNW, FN-45, pistol Challenger, dan senapan buatan Amerika Serikat, Remington. Ada lagi 19.000 lebih peluru dan 93 magazin.

Menurut dakwaan jaksa, Sofyan Tsauri yang berpangkat brigadir polisi itu melakukan disersi dan diberhentikan pada 2009. Dia kemudian terpengaruh dan bergabung dalam kelompok teroris. Malah dalam suatu kesempatan pria 34 tahun itu melakukan wawancara dengan sebuah kantor berita asing, mengaku terus terang sebagai anggota jaringan al-Qaidah pimpinan Usamah Bin Ladin dan selalu melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayaf di Filipina.

Tapi ada juga versi yang mencurigai Sofyan sebagai orang yang disusupkan intelijen. Kecurigaan itu terutama muncul karena gampangnya Sofyan memperoleh senjata dan dana. Dikabarkan ia amat pemurah dalam memberi uang saku kepada sejumlah anggota yang pernah ia latih di Aceh.

Selain itu kalau benar seorang disersi, bagaimana mungkin Sofyan dengan gampang keluar-masuk Markas Komando Brimob di Depok? Bukan hanya itu. Sofyan begitu mudah membawa anggotanya berlatih tembak (dengan senjata api) di Lapangan Tembak Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok.

Informasi ini dulu dibantah oleh sumber resmi Mabes Polri, tapi kini diakui di dalam surat dakwaan jaksa. Bisa Anda bayangkan: gerombolan teroris berlatih menembak justru di Lapangan Tembak Brimob dengan senjata dari gudang Mabes Polri. Sudah semestinya pimpinan Polri (termasuk Kapolri) mempertanggung-jawabkan peristiwa ini kepada rakyat, selain melakukan klarifikasi isu penyelusupan intelijen.

Pantaslah 23 September lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kapolri mengecek senjata dan amunisi di gudang-gudang TNI mau pun Polri, hingga pada satuan-satuan terkecil.

Pengecekan dimaksudkan agar penggunaan senjata mau pun amunisi dilakukan dengan tertib. Instruksi itu sebenarnya sudah amat terlambat, karena terbukti kelompok teroris memperoleh senjata dari gudang Mabes Polri.

Ada Komisaris Jenderal Goris Mere

Sebenarnya kegagalan pemberantasan terorisme di Indonesia tak lain karena pemerintah Indonesia tak bisa mandiri tapi menggantungkan diri kepada Amerika Serikat dan Australia. Detasemen Khusus (Densus) Anti-teror 88 milik Polri berdiri setelah terjadi peristiwa bom Bali pertama di tahun 2002. Densus itu memiliki 400 anggota di Jakarta dan ratusan orang terserak di 33 daerah (Polda), terutama di Provinsi Maluku dan Irian.

Aksi Densus tentu sudah sering disaksikan di layar televisi. Gaya mereka memegang senjata, menggiring para tersangka mirip tentara Amerika Serikat menggiring tahanan teroris di Teluk Guantanamo. Maka terlihat terlalu berlebihan ketika di televisi disaksikan lagak dan gaya anggota Densus itu memperlakukan dan menangkap Ustadz Abubakar Basyir, seorang tua yang sudah sangat lemah.

Anggota Densus diberi pelatihan sepenuhnya oleh aparat intelijen Amerika Serikat (FBI/CIA) dan Australia (Australian Federal Police). Semua biaya perekrutan, pelatihan, dan peralatannya berasal dari bantuan kedua negara itu.

Dengan biaya berlimpah, pasukan anti-teror ini terlihat mewah di antara para anggota polisi dengan fasilitas seadanya. Di Jakarta, Densus memiliki kantor dan segala fasilitas yang dibangun di tahun 2004 atas biaya Australia sebesar 40 juta US dollar. Setiap tahun, pemerintah Australia melalui Australian Federal Police (polisi federal Australia) memberikan bantuan 16 juta US Dollar (lihat koran Australia, The Age, 13 September 2010). Ke mana-mana pasukan khusus ini menggunakan pesawat terbang sendiri, Boeing 737.

Selain itu bantuan datang dari Amerika Serikat melalui program anti-terorisme (Anti-Terrorism Assistance, biasa disingkat ATA) Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.  Program itu diadakan dalam rangka perang global melawan teror (global war on terror) yang diproklamirkan Presiden George Bush, beberapa pekan setelah serbuan teror 11 September 2001.

Karena tergantung bantuan asing maka satuan anti-teror itu tak membumi. Sekadar contoh, nama Densus 88 saja diambil dari jumlah warga Australia yang terbunuh dalam peristiwa bom Bali 1 sebanyak 88 orang. Mestinya nama pasukan khusus itu berhubungan dengan  sesuatu yang bisa meningkatkan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Kemudian dalam aksinya Densus 88 terlalu mengandalkan kekuatan sendiri seakan urusan terorisme hanya monopoli mereka. Padahal kita memiliki pasukan TNI yang terlatih baik seperti Kopassus di TNI Angkatan Darat atau Marinir di TNI Angkatan Laut yang kemampuannya sebenarnya tak boleh diragukan. Malah untuk urusan tempur tentu mereka lebih berkapasitas. Apalagi Kopassus sudah sering berlatih menumpas teroris bersama pasukan elit Australia, SASR (Special Air Service Regiment), seperti yang terjadi di Denpasar, Bali, 27 September lalu.

Selain itu, pemberantasan teroris mestinya melibatkan para ulama dan tokoh masyarakat. Terorisme ada hubungannya dengan masalah ideologi yang tak mungkin bisa dibersihkan hanya dengan main tangkap atau main tembak.

Memang Densus 88 punya kehebatan tersendiri. Konon mereka punya keahlian menyadap atau memonitor pembicaraan telepon atau SMS. Mereka dikabarkan memiliki peralatan sadap yang canggih dari Australia. Konon beberapa tokoh teroris berhasil disergap berkat keberhasilan menyadap telepon mereka. Meski pun sebenarnya penyadapan-penyadapan telepon pribadi bisa dianggap melanggar hak azasi manusia.

Tapi karena selama ini merasa sukses menumpas terorisme tampaknya mulai ada beban bagi Satuan Anti-Teror ini. Di Lapangan Terbang Polonia Medan, 13 September lalu, sejumlah pasukan Densus 88 dikabarkan petantang petenteng menerobos area Delta tanpa pemberitahuan atau izin yang jelas. Tindakan mereka ditegur seorang petugas TNI Angkatan Udara. Itu malah membuat berang para anggota Densus karena menganggap Komisaris Jendral Goris Mere yang ada bersama mereka kurang dihargai petugas. ‘’Anda tahu di sini ada bintang tiga,’’ sergah seorang anggota Densus.

Insiden ini sempat menimbulkan gesekan antar-instansi. Komandan Lanud Medan Kolonel Pnb Taufik Hidayat, 16 September lalu, mengirim surat kepada Polda Sumatera Utara memprotes tindakan Densus yang masuk ke areal tertentu di lapangan terbang tanpa izin atau pemberi tahuan semestinya.

Peristiwa Medan mengungkap pula keterlibatan Komisaris Jenderal Goris Mere dalam  pemberantasan terorisme. Padahal ia kini menjabat Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN). Apa hubungan narkoba dan terorisme? Jawabannya hanya akan membuat struktur kepemimpinan di kepolisian membingungkan.

Bukan hanya itu. Dalam menggerebek sejumlah sarang teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak, dikabarkan Densus 88 tak berkordinasi dengan Polda Sumatera Utara, sehingga timbul gesekan di internal polisi. “Tindakan seperti itu menunjukkan sikap arogan, mereka (Densus 88) merasa seperti polisi nomor satu di Republik ini,” kata Neta S. Pane, Presidium  Indonesia Police Watch (IPW), LSM yang mengawasi kinerja polisi.

Terlibat Nama Presiden SBY

Sekarang tampaknya sudah saatnya pemerintah mengevaluasi sistem pemberantasan terorisme yang selama ini dipecayakan (hanya) kepada Densus 88, kreasi Amerika Serikat dan Australia itu. Apalagi belakangan pers dan LSM di Amerika dan Australia mulai menyerang  dan menuduh Densus 88  melakukan tindakan pelanggaran HAM di Maluku dan Papua.

Koran Amerika Serikat, The Christian Science Monitor dan koran Australia The Age dan The Sydney Morning Herald kini rajin membongkar tuduhan pelanggaran HAM oleh Densus. LSM internasional terkemuka, Human Rights Watch dan Amnesty International pun sekarang kritis terhadap Densus 88. Maka tokoh-tokoh LSM Indonesia mulai mengamati perilaku Densus 88.

Selama ini kritik atas tindak kekerasan Densus sering disuarakan Forum Ummat Islam (FUI) tapi tak pernah didukung LSM-LSM. Pada 1 September lalu, misalnya, delegasi FUI ke Komisi III DPR mempersoalkan kekerasan oleh Densus. Terutama kekerasan dalam pemeriksaan, penangkapan atau penyergapan, tanpa alasan yang memadai. Para anggota Densus ringan tangan dalam membuang tembakan.

Sekarang koran dan LSM Amerika Serikat atau Australia  kritis kepada Densus karena rupanya Densus bukan hanya memberantas terorisme (baca sebagai Islam) sebagaimana yang mereka harapkan tapi juga gerakan separatis di Maluku dan Papua seperti RMS dan OPM, yang melibatkan bukan orang Islam. Sudah jadi rahasia umum selama ini RMS dan OPM mendapat dukungan di Australia, sebagaimana halnya gerakan Fretilin di Timor Timur dulu.

Kebetulan dalam dua kasus RMS di Maluku terlibat nama Presiden SBY sehingga isunya semakin menarik. Yang pertama adalah penangkapan puluhan penari Cakalele di stadion di Ambon, dalam sebuah upacara 29 Juni 2007, dihadiri langsung oleh Presiden SBY.

Tiba-tiba di depan Presiden para penari dari Pulau Haruku itu mengibarkan bendera gerakan separatis RMS (Republik Maluku Selatan) berukuran raksasa. Peristiwa itu dianggap mempermalukan Presiden SBY di depan para tamu asing. Dalam kesempatan berpidato, SBY terkesan marah dan menegaskan tak ada toleransi untuk gerakan separatis di Indonesia.

Maka aparat keamanan di Maluku pun sibuk. Densus 88 dikerahkan menangkap para penari itu dan  memeriksanya di kantor Densus 88 di kawasan Tantui, Ambon. Seperti kemudian dilaporkan koran dan LSM internasional tadi, di sana terjadi penyiksaan di luar peri kemanusiaan terhadap para aktivis RMS. Sejumlah 22 orang yang terlibat dalam kasus ini kemudian divonis 6 tahun sampai 15 tahun penjara oleh pengadilan.

Lantas 2 Agustus lalu, Densus 88 menangkap lagi 10 aktivis RMS di Ambon. Mereka dituduh akan melakukan aksi – termasuk pengibaran bendera RMS – pada 3 Agustus 2010. Pada hari itu, Presiden SBY datang ke Ambon guna menyemarakkan perayaan Sail Banda 2010. Amnesty International mengkhawatirkan dalam pemeriksaan Densus 88, para tahanan itu akan mengalami penyiksaan sebagaimana tahanan tari Cakalele 2007.

“Dia bukan jihadis radikal. Dia seorang Kristen dan kesalahannya adalah memiliki dua bendera RMS,’’
tulis The Sydney Morning Herald 13 September 2010, mengisahkan nasib malang Yonias Siahaya, 58 tahun, pekerja bangunan dan salah seorang tahanan yang mengalami penyiksaan di rumah tahanan Densus 88 di Tantui, Ambon.

Artinya, menurut koran Sydney  itu seorang jihadis radikal boleh saja disiksa Densus. Yang tak boleh adalah seorang Kristen dan pengibar bendera RMS. Sebuah sikap wartawan yang sangat rasis.(Amran/Hidayatullah)

Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini,  bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta

Pejabat Vatikan : Segera Punya Banyak Anak dan Kembali ke Gereja, atau Eropa Akan Menjadi Islam

VATIKAN – Eropa akan berkembang lebih Islami jika orang Kristen Eropa tidak mulai memiliki anak bayak dan kembali ke gereja, kata seorang pejabat senior Vatikan bulan ini. Mgr Piero Gheddo, seorang misionaris dan pejabat Kepausan Vatikan untuk Institute Misi Asing mengatakan kepada kantor berita Zenit bahwa penduduk asli Eropa telah meninggalkan agama Kristen dan menjadi “paganis”/ penyembah berhala.

“Faktanya adalah bahwa orang-orang menjadi semakin kafir dan kevakuman agama pasti akan diisi oleh kekuatan agama lain,” kata Mgr Gheddo yang juga pendiri AsianNews, kantor berita misionaris Kristen. Disaat praktik agama Kristen berkurang di Eropa, “ketidakpedulian menyebar, Kristen dan gereja mulai diserang.”

“Jika kita menganggap diri kita sebuah negara Kristen, maka kita harus kembali ke praktek kehidupan Kristen yang juga akan memecahkan masalah dari buaian yang kosong.”

Gheddo menunjuk statistik demografis yang menunjukkan bahwa populasi asli Italia mengalami penurunan sebesar 120.000 atau 130.000 per tahun “karena aborsi dan broken home.” Pada saat yang sama, 200.000 imigran legal pindah ke Italia selama kurun waktu satu tahun. Dan lebih dari separuhnya adalah Muslim yang terus memiliki keluarga besar dan sekarang Italia menjauhkan diri.

“Koran dan televisi tidak pernah membahas ini,” katanya.

Gheddo menanggapi ejekan pemimpin Libya Moammar Ghadafi yang membuat banyak orang marah setelah dalam kunjungan resminya ke Italia ia mengatakan bahwa Eropa harus masuk Islam. Dia memberikan kuliah kepada 500 wanita muda yang ia bayar untuk menghadiri kuliah itu. Dan Ghadafi mendesak para wanita itu untuk masuk Islam dan menawarkan para suami Muslim di Libya. Pernyataan Gadhafi ini dikecam oleh uskup Agung Robert Sarah, sekretaris Kongregasi Vatikan untuk Evangelisasi Masyarakat, yang menyebutnya sebagai “provokasi.”

“Tidak ada surat kabar – kecuali Avvenire, surat kabar Konferensi Episkopal Italia yang telah serius mempertimbangkan bagaimana menanggapi tantangan dari Islam ini, yang cepat atau lambat akan menaklukkan mayoritas Eropa,” katanya.

Survei terbaru yang dilakukan di Italia oleh Keuskupan Katolik setempat telah menemukan jumlah yang menunjukkan bahwa angka 30 persen yang dipaparkan adalah menipu. Di Venesia, ditemukan bahwa jumlah yang benar-benar hadir di gereja hanya 18 persen dan angka ini drop secara dramatis di kalangan muda-mudi Italia.

Seorang penulis, Piero Gheddo yang telah menulis lebih dari 80 buku kondisi orang di negara berkembang, dalam posting di blog nya baru-baru ini mengatakan ia “mengecam penutupan fasilitas pemuda Kristen dan gereja-gereja  dan kemerosotan sekolah dan kehidupan keluarga akibat tingginya perceraian di Italia,” Piero Gheddo menyebut dirinya sebagai “wartawan misionaris.”

“Obat-obatan, alkohol, seks bebas dan musik psychedelic yang didengarkan selama berjam-jam pada volume tinggi adalah beberapa ‘hiburan’ anak-anak itu yang dicari dan diperbolehkan, kadang-kadang didorong dan dibiayai oleh pemerintah daerah.”

“Semua ini adalah buah dari peradaban kita yang semakin jauh dari Tuhan dan  pendidikan kepada anak muda,” tutupnya.

Jadi slogan bahwa Eropa menuju Islam itu apakah benar akan terwujud nanti? (muslimdaily.net)